Jumat, 03 Desember 2010

Pndapat Tentang Supremasi Hukum Indonesia

Apa yang sedang hangat dibicarakan dan sepertinya akan terus menjadi pembicaraan menarik di negeri ini adalah masalah hukum. Masalah hukum ini bisa terkait dengan banyak hal, misalnya proses peradilan, pembuatan undang-undang, dan banyak hal lain. Sebagai seorang masyarakat awam saja, saya sering dengan gagah berdiskusi dengan sesama awam tentang masalah hukum ini bermodalkan sedikit pengetahuan berdasarkan intensitas saya menjadi pemirsa televisi yang sering menayangkan warta-warta hukum tersebut. Hal ini hanya membuat saya seolah-olah banyak mengerti tentang hukum, namun kenyataannya terbalik. Senada dengan kegagahan saya membahas banyak hal tentang ekonomi ataupun politik yang sama kuat menjadi tren pembahasan di media-media massa.

Hal di atas sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Bahkan bila ada yang ingin memperdebatkan hal tersebut, harus terlebih dahulu berpikir panjang sambil menginventarisasi opini-opininya. Tak usah berpikir jauh-jauh bahwa banyak kaum awam akan menjadi pro terhadap pernyataan saya di atas, lihat saja ke warung-warung kopi(kalau di Sumatera Utara dikenal dengan lapo), pangkalan-pangkalan ojek, atau pos-pos ronda. Oleh karena itu, mari kita sepakati kenyataan ini.

Tentu yang paling hangat adalah yang terbaru, istilah asing yang sering saya dengar disebutkan fresh from the oven. Atau ada istilah lain? Tolong beritahu saya. Saya ajak teman-teman untuk mengarahkan kepada kasus hukum Gayus Tambunan, terdakwa kasus mafia pajak. Berdasarkan media, diberitakan bahwa Sang Gayus yang selama ini menjadi tahanan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, dengan enteng bisa keluar berpesiar ke luar tahanan. Hingga saat ini, Gayus diduga telah berpesiar ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Betapa ia masih bisa menikmati hidup di tengah-tengah keadaannya sebagai seorang tahanan. Bahkan berdasarkan hasil investigasi media, kasus-kasus seperti itu sudah sering terjadi. Wow! Ada apa dengan penegak hukum di negeri ini? Kembali ke kasus Gayus dijelaskan bahwa kejadian itu bisa terlaksana karena adanya izin dari Kepala Rumah Tahanan Mako Brimob beserta delapan anggotanya yang sudah mengaku menerima sejumlah uang agar Gayus dapat melenggang-kangkung ke luar rumah tahanan.

Kasus ini menjadi potret bahwa masih buruknya kualitas penegak hukum sehingga akhirnya menuju suatu kemustahilan dalam mewujudkan supremasi hukum. Ini menunjukkan bahwa hukum masih dapat dibeli dengan uang. Hal ini tentu sangat aneh, di tengah-tengah semangat untuk memberantas korupsi dan mafia hukum masih ditemukan kesalahan fatal (error) yang berasal dari penegak hukum sendiri. Atau jangan-jangan ada pikiran dari si Kepala Rutan dan anggota-anggotanya itu yang menganggap bahwa ketika mereka akan diproses secara hukum, mereka sudah punya strategi sendiri yang memungkinkan mereka tidak dihukum atau setidaknya menerima hukuman yang ringan, yang penting mereka puas dengan layanan dari Sang Gayus karena toh juga para penegak hukum yang akan memroses mereka nantinya adalah sahabat-sahabat yang “tahu sama tahu” tentang keadaan mereka. Timbul pertanyaan: Ini salah siapa? Moralitas seperti ini tanggung jawab siapa? Dan akan banyak pertanyaan lain untuk dengan motif yang berbeda-beda. Pertanyaan yang sangat susah dijawab oleh para penegak hukum, antonim dengan kaum awam seperti saya yang sangat mudah menjawab pertanyaan itu dan akan terus menyalahkan para penegak hukum tersebut. Betapa gagahnya si kaum awam tersebut.

Namun yang jelas, ini harus diperbaiki. Bagaimana caranya? Sedikit solusi dari kaum awam yang bahkan masih belajar di tataran pendidikan tinggi bangsa ini. Yang pertama, mengingat jumlah ahli hukum-hukum yang sangat banyak di negeri ini, tercermin dari banyaknya sekolah-sekolah ataupun fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi, hal yang mungkin dilakukan adalah konsolidasi untuk merancang desain idealisme hukum yang paling tepat. Para ahli yang idealis dan praktisi juga perlu berkomunikasi sehingga tidak ada tarik-menarik kepentingan. Yang kedua, melakukan perbaikan dalam sistem perekrutan penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hukum. Perlu pengawasan dari tim yang independen terutama dalam praktik suap ataupun nepotisme yang sudah merupakan rahasia umum dalam setiap proses perekrutan. Yang terbaiklah yang pantas menjadi penegak hukum di negara ini. Dari kedua solusi di atas, bila dilaksanakan dengan baik tentu akan memberikan hasil yang baik. Namun akan selalu ada halangan, penolakan, atau apapun yang menyebabkan kondisi hukum seperti saat ini tetap dipertahankan, kembali lagi ke masalah kepentingan pribadi maupun kelompok. Yang ketiga, kita doakan saja agar apa yang kita harapkan adalah sesuai kehenda-Nya. Untuk solusi ini, saya rasa masih mungkin untuk dilakukan.

Dari semuanya itu, harus saya akui bahwa opini ini merupakan hasil olah otak pribadi tanpa disertai studi-studi yang mumpuni. Bahkan hal ini merupakan sebuah imajinasi seorang mahasiswa yang sesungguhnya sedang belajar di jurusan hukum yang mencoba mengasah otak di luar masalah-masalah hukum. Bagaimana mungkin saya melakukan studi terlebih dahulu tentang masalah hukum, sementara dalam ilmu yang saya geluti saat inipun saya masih harus berusaha lebih ekstra untuk menguasainya. Semoga tulisan ini berguna bagi orang yang membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar