Jumat, 03 Desember 2010

Bantuan Hukum, Jembatan Keadilan Bagi Rakyat Miskin

Bantuan Hukum, Jembatan Keadilan Bagi Rakyat Miskin

Pemberitaan mengenai hak-hak rakyat miskin yang terabaikan saat berhadapan dengan proses hukum, akhir-akhir ini menjadi tema besar yang ramai dibicarakan. Kapolri bahkan sampai harus menelepon langsung Kapolda Metro Jaya terkait kasus seorang pemulung yang “dipaksa mengaku” memiliki ganja. Jika Kapolri mau mendengar keluhan para penggiat bantuan hukum, mungkin akan makin banyak lagi pulsa telepon yang harus dikeluarkan.

Hak-hak rakyat miskin yang dinodai, bukan merupakan barang baru di lingkungan pengacara publik. Sudah terlalu banyak pencari keadilan yang datang ke berbagai lembaga bantuan hukum, yang mengandalkan pendampingan probono, mengalami hal tersebut. Sayangnya, instrumen hukum yang mengatur pemberian bantuan hukum bagi rakyat, khususnya rakyat miskin, masih terbatas.

KUHAP hanya mengenal pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mereka yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Kurang dari itu harus menggantungkan diri pada nasib.

Pemulung seperti Saleh yang “memiliki” ganja, karena dipaksa, sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan bantuan hukum berdasarkan KUHAP. Ganja yang termasuk narkotika golongan I memiliki ancaman hukuman 4 tahun sampai 12 tahun penjara. Lagipula pemberian bantuan hukum dilakukan di tingkat pemeriksaan mana, juga tidak jelas pengaturannya.

Niat pemerintah mengatur pemberian bantuan hukum melalui peraturan pemerintah (PP) maupun aturan setingkat Instruksi Menteri juga belum menyentuh permasalahan tersebut. Aturan-aturan tersebut hanya memberi acuan pemberian bantuan hukum dan belum mengakomodasi hak rakyat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Selain itu, PP tersebut yang merupakan amanat UU Advokat tidak tepat untuk mengatur LBH/penggiat bantuan hukum, yang karakter dan fungsinya berbeda dengan advokat dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma.

Hakikatnya, pemberian bantuan hukum bukan semata-mata merupakan tanggung jawab LBH, para advokat, maupun partai politik yang memiliki semacam divisi bantuan hukum. Dikatakan dalam konstitusi, bahwa semua orang berhak untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). Bagi mereka yang tidak mampu jelas dilindungi oleh prinsip “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan demikian pemenuhan hak atas bantuan hukum, yang merupakan hak asasi manusia yang sangat fundamental, pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara.

Kondisi yang kontras dengan persidangan korupsi maupun kasus-kasus lainnya yang melibatkan para pejabat tinggi ataupun orang-orang yang berduit banyak, yang justru memperlihatkan bahwa hak untuk didampingi pengacara kelas atas merupakan akomodasi primer. Sedangkan bagi rakyat miskin, untuk mendapatkan bantuan hukum saja sudah cukup sulit. Hal ini membuat hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sepertinya menjadi sesuatu yang terlalu muluk.

Kenyataan-kenyataan tersebutlah yang membuat para penggiat bantuan hukum prodeo, yang dimotori Patra Zen dan kawan-kawan, terus mendorong terciptanya suatu aturan hukum yang komprehensif melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Bantuan Hukum. RUU tersebut saat ini tengah digodok dalam Badan Legislasi dan menjadi bagian dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2009-2014.

Paling tidak ada beberapa poin krusial yang perlu dijawab dalam penyusunan RUU tersebut. Pertama, mengenai definisi penerima bantuan hukum. Perlu dijelaskan dalam kerangka aturan bantuan hukum siapa saja yang dimaksud dengan penerima bantuan hukum. Konstitusi memang menjamin hak seluruh masyarakat, entah miskin atau kaya, untuk mendapatkan equality before the law, namun tak perlu diragukan lagi kalau yang paling membutuhkan bantuan ini adalah mereka yang kurang beruntung secara ekonomi alias rakyat miskin. Perlu diatur definisi yang jelas, mengingat saat ini begitu banyak definisi dan kriteria berbeda mengenai rakyat miskin, yang dibuat oleh berbagai badan/lembaga.

Kedua, mengenai pemberi bantuan hukum. Dalam peraturan pemerintah mengenai bantuan hukum dijelaskan bahwa permohonan bantuan hukum dapat diajukan kepada advokat maupun LBH. Masalahnya, dalam pemberian bantuan hukum melalui pendampingan di pengadilan, diperlukan ijin beracara. Bagi teman-teman yang berada di lingkungan LBH, aturan tersebut tidak menjadi terlalu bermasalah karena kebanyakan telah memiliki ijin advokat. Namun perlu diatur bagi orang-orang yang bukan advokat, yang melakukan praktik pendampingan hukum. Orang-orang yang dikenal sebagai paralegal, seperti halnya paramedis di lingkungan kesehatan, yang memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi pemberian bantuan hukum.

Ketiga, tentang suatu lembaga khusus yang dibentuk untuk penyelenggaraan bantuan hukum dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan bantuan hukum serta bersifat otonom. Fungsi lembaga ini adalah untuk memberikan jaminan terlaksananya amanat konstitusi dalam hubungannya dengan pemberian bantuan hukum khususnya bagi rakyat miskin.

Sedangkan masalah pertanggungjawaban lembaga ini terdapat beberapa pilihan. Apakah bertanggung jawab kepada menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, atau bertanggung jawab kepada Presiden. Yang jelas, pertanggungjawabanny kepada pihak eksekutif karena negara kita tidak mengenal pertanggungjawaban suatu lembaga kepada badan legislatif.

Hal-hal di atas perlu segera dijawab. Sudah sangat mendesak adanya penegasan di dalam suatu aturan hukum/undang-undang mengenai hak warga negara yang tidak mampu (rakyat miskin) untuk memperoleh bantuan hukum, sekaligus kewajiban negara untuk memenuhinya. Teman-teman aktifis bantuan hukum pun bahkan harus belajar jauh untuk mengkaji hal-hal tersebut sampai ke Afrika Selatan, yang telah memiliki pengaturan bantuan hukum yang cukup baik. Padahal ketika Indonesia telah lama merdeka, Afrika Selatan masih bergelut dengan perlakuan yang diskriminatif terhadap rakyat kulit hitam, khususnya dalam hal pemberian bantuan hukum.

Dengan demikian, negara kita yang juga telah meratifikasi kovenan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya pada tahun 2005, tidak memiliki alasan lagi untuk menunda pengesahan RUU Bantuan Hukum. Menundanya adalah sama dengan memperbanyak “saleh-saleh” yang lain di kemudian hari. Bahkan, harapan untuk terciptanya kemajuan pembangunan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia hanya akan menjadi utopia belaka, apabila hal-hal “sepele” seperti hak rakyat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum masih saja terabaikan tanpa payung hukum yang memadai.

Pndapat Tentang Supremasi Hukum Indonesia

Apa yang sedang hangat dibicarakan dan sepertinya akan terus menjadi pembicaraan menarik di negeri ini adalah masalah hukum. Masalah hukum ini bisa terkait dengan banyak hal, misalnya proses peradilan, pembuatan undang-undang, dan banyak hal lain. Sebagai seorang masyarakat awam saja, saya sering dengan gagah berdiskusi dengan sesama awam tentang masalah hukum ini bermodalkan sedikit pengetahuan berdasarkan intensitas saya menjadi pemirsa televisi yang sering menayangkan warta-warta hukum tersebut. Hal ini hanya membuat saya seolah-olah banyak mengerti tentang hukum, namun kenyataannya terbalik. Senada dengan kegagahan saya membahas banyak hal tentang ekonomi ataupun politik yang sama kuat menjadi tren pembahasan di media-media massa.

Hal di atas sudah menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Bahkan bila ada yang ingin memperdebatkan hal tersebut, harus terlebih dahulu berpikir panjang sambil menginventarisasi opini-opininya. Tak usah berpikir jauh-jauh bahwa banyak kaum awam akan menjadi pro terhadap pernyataan saya di atas, lihat saja ke warung-warung kopi(kalau di Sumatera Utara dikenal dengan lapo), pangkalan-pangkalan ojek, atau pos-pos ronda. Oleh karena itu, mari kita sepakati kenyataan ini.

Tentu yang paling hangat adalah yang terbaru, istilah asing yang sering saya dengar disebutkan fresh from the oven. Atau ada istilah lain? Tolong beritahu saya. Saya ajak teman-teman untuk mengarahkan kepada kasus hukum Gayus Tambunan, terdakwa kasus mafia pajak. Berdasarkan media, diberitakan bahwa Sang Gayus yang selama ini menjadi tahanan di Markas Brimob Kelapa Dua, Depok, dengan enteng bisa keluar berpesiar ke luar tahanan. Hingga saat ini, Gayus diduga telah berpesiar ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Betapa ia masih bisa menikmati hidup di tengah-tengah keadaannya sebagai seorang tahanan. Bahkan berdasarkan hasil investigasi media, kasus-kasus seperti itu sudah sering terjadi. Wow! Ada apa dengan penegak hukum di negeri ini? Kembali ke kasus Gayus dijelaskan bahwa kejadian itu bisa terlaksana karena adanya izin dari Kepala Rumah Tahanan Mako Brimob beserta delapan anggotanya yang sudah mengaku menerima sejumlah uang agar Gayus dapat melenggang-kangkung ke luar rumah tahanan.

Kasus ini menjadi potret bahwa masih buruknya kualitas penegak hukum sehingga akhirnya menuju suatu kemustahilan dalam mewujudkan supremasi hukum. Ini menunjukkan bahwa hukum masih dapat dibeli dengan uang. Hal ini tentu sangat aneh, di tengah-tengah semangat untuk memberantas korupsi dan mafia hukum masih ditemukan kesalahan fatal (error) yang berasal dari penegak hukum sendiri. Atau jangan-jangan ada pikiran dari si Kepala Rutan dan anggota-anggotanya itu yang menganggap bahwa ketika mereka akan diproses secara hukum, mereka sudah punya strategi sendiri yang memungkinkan mereka tidak dihukum atau setidaknya menerima hukuman yang ringan, yang penting mereka puas dengan layanan dari Sang Gayus karena toh juga para penegak hukum yang akan memroses mereka nantinya adalah sahabat-sahabat yang “tahu sama tahu” tentang keadaan mereka. Timbul pertanyaan: Ini salah siapa? Moralitas seperti ini tanggung jawab siapa? Dan akan banyak pertanyaan lain untuk dengan motif yang berbeda-beda. Pertanyaan yang sangat susah dijawab oleh para penegak hukum, antonim dengan kaum awam seperti saya yang sangat mudah menjawab pertanyaan itu dan akan terus menyalahkan para penegak hukum tersebut. Betapa gagahnya si kaum awam tersebut.

Namun yang jelas, ini harus diperbaiki. Bagaimana caranya? Sedikit solusi dari kaum awam yang bahkan masih belajar di tataran pendidikan tinggi bangsa ini. Yang pertama, mengingat jumlah ahli hukum-hukum yang sangat banyak di negeri ini, tercermin dari banyaknya sekolah-sekolah ataupun fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi, hal yang mungkin dilakukan adalah konsolidasi untuk merancang desain idealisme hukum yang paling tepat. Para ahli yang idealis dan praktisi juga perlu berkomunikasi sehingga tidak ada tarik-menarik kepentingan. Yang kedua, melakukan perbaikan dalam sistem perekrutan penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hukum. Perlu pengawasan dari tim yang independen terutama dalam praktik suap ataupun nepotisme yang sudah merupakan rahasia umum dalam setiap proses perekrutan. Yang terbaiklah yang pantas menjadi penegak hukum di negara ini. Dari kedua solusi di atas, bila dilaksanakan dengan baik tentu akan memberikan hasil yang baik. Namun akan selalu ada halangan, penolakan, atau apapun yang menyebabkan kondisi hukum seperti saat ini tetap dipertahankan, kembali lagi ke masalah kepentingan pribadi maupun kelompok. Yang ketiga, kita doakan saja agar apa yang kita harapkan adalah sesuai kehenda-Nya. Untuk solusi ini, saya rasa masih mungkin untuk dilakukan.

Dari semuanya itu, harus saya akui bahwa opini ini merupakan hasil olah otak pribadi tanpa disertai studi-studi yang mumpuni. Bahkan hal ini merupakan sebuah imajinasi seorang mahasiswa yang sesungguhnya sedang belajar di jurusan hukum yang mencoba mengasah otak di luar masalah-masalah hukum. Bagaimana mungkin saya melakukan studi terlebih dahulu tentang masalah hukum, sementara dalam ilmu yang saya geluti saat inipun saya masih harus berusaha lebih ekstra untuk menguasainya. Semoga tulisan ini berguna bagi orang yang membacanya.

Selasa, 30 November 2010

HUKUM YANG GADO-GADO

SISTEM PEMERINTRAHAN YANG GADO-GADO DAN CENDERUNG “BANCI”

Berbicara masalah pemerintahan di suatu Negara maka kita akan tidak terlepas dari politik hukum yang ada di dalam Negara tersebut. Kita bisa lihat politik hukum dalam suatu Negara dalam UUD. Dalam politik hukum Moh.Mahfud MD dapat kita ketahui bahwa politik yang mempengaruhi hukum . mengapa politik mempengaruhi hukum ? sebelum menjawab pertanyaan tadi kita singgung dulu masalah keterkaitan/kausalitas politik dengan hukum apakah hukum mempengaruhi politik atau politik mempengaruhi hukum ada 3 jawaban
1. Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum .
2. Politik determinan atas hukum ,kerena hukum merupakan hasil atau kristalisasi saling bersaing.
3. Politik dalam hukum subsistem ke masyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasi seimbang antara satu dengan yang lain,karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Ada perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan di antara keduanya, terutama perbedaan alternative jawaban yang pertama dan kedua di sebabkan oleh perbedaan cara para ahli memandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. mereka yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan ) atau para idealis berpegangteguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antara anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik.sedang mereka yang memandang hukum dari sudut dasein (kenyataan)atau para penganut faham empiris melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat di pengaruhi oleh produk politik, bukan saja dalam perbuatan tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empiris. Bahwa sudah jelas dalam definisi politik hukum menurut Mahfud MD adalah sebagai kebijaksanaan hukum yang akan atau telah di laksanakan secara melihat konfigurasi kekuasaan, kekuatan yang ada di belakang perbuatan dan penegakan hukum itu. Jadi kalau kita fahami definisi diatas bahwa untuk menbgahsilkan produk hukum itu dengan cara kekuasaan atau kewenangan lembaga yang di tugaskan untuk itu,dan berbicara masalah kekuasaan itu lebih dekat dengan adanya unsure politik
Unsure –unsur politik hukum itu terdiri dari
1. Kebijakan dasar
2. Menetukan arah
3. Menetukan bentuk hukum
4. Menetukan isi hukum
Setelah menguraikan tentang politik hukum diatas penulis teringat dengan adaya ungkapan yang menyatakan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan” hal itu terjadi karena dalam prakteknya hukum kerapkali menjadi menjadi cermin dari kehendak kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Tetapi penulis mempunyai mempunyai pemikiran lain bahwa hukum itu harus mempunyai kekuasaan jadi dalam hukum itu harus ada kekuasaan supaya tercapai ketertiban,keamanan, keadilan dan kepastian hukum .
Berbicara politik hukum, mahfud MD membagi menjadi 2 konfigurasi yaitu konfigurasi politik dan konfigurasi hukum.konfigurasi politik di pecah menjadi variable politik demokrasi dan variable politik otoriter sedangkan produk hukum di bedakan atas produk hukum yang berkarakter responsive dan produk hukum yang berkarakter konserpatif atau ortodok .indikator untuk menilai bahwa suatu bangsa itu demokrasi atau otoriter indicator yang di gunakan adalah
1. Peranan lembaga perwakilan rakyat
2. Peran pers
3. Peranan eksekutif
Sedangkan untuk menilai produk hukum indicator yang digunakan adalah.
1. Proses pembuatannya
2. Pemberian fungsinya
3. Peluang penafsirannya.
Pada konfigurasi politik demokrasi, lembaga perwakilan rakyat( parlemen) dalam menentukan arah kebijakan sangat menetukan arah kebijaksanaan politik hukum nasional sehingga parlemen dapat di anggap sebagai refresentasi rakyat yang di wakilinya.pers memiliki kebebasan yang relatif tinggi dalam artian tidak mengesampingkan kode etik jurnalistik dan bebas berpendapat asalkan cara-cara tidak melanggar undang-undang, sedangkan pemerinrtah melaksanakan keputusan-keputusan lembaga perwakilan rakyat dan menghormati sebagai refresentatif.Pada konfigurasi otoriter terjadi keadaan sebaliknya,sementara produk hukum yang berkarakter responsive akan terlihat bahwa proses pembuatannya bersifat partisifatif dalam arti menyerap partisipatif kelompok social maupun individu-individu di dalam masyarakat menyerap aspirasi masyarakat secara besar-besaran sehingga mengkristalisasikan berbagai kehendak dalam masyarakat dan saling bersaing membatasi space bagi pemerintahan membuat tafsiran-tafsiran yang terlalu banyak di tentukan visi dan kekuasaan politik sendiri.[1]sedangkan pada produk hukum berkarakter konservatif ,terjadi hal sebaliknya ,dapat di duga bahqwa konfigurasi politik demokrasis akan melahirkan produk hukum yang responsive sedang konfigurasi otoriter akan menghasilkan atau melahirkan produk hukum yang konservatif .
MENGINGAT PERNYATAAN TADI SAYA MERAGUKAN, APAKAH ADA NEGARA YANG SEPENUHNYA OTORITER DAN DEMOKRASI ? SAYA RASA TIDAK ADA NEGARA YANG SEPENUHNYA DEMOKRASI DAN OTORITER,BERARTI MENGINGAT TIDAK ADA SATUPUN NEGARA DI DUNIA INI YANG DEMOKRASI ATAUPUN OTORITER MAKA AKAN BERPENGARUH JUGA PADA PRODUK HUKUM.DILIHAT DARI KE TIDAK JELASAN SYSTEM PEMERINTAHAN YANG DIPAKAI SEHARUSNYA ADA KEMUNGKINAN UNTUK MEMUNCULKAN SUATU TEORI BARU TENTANG SYSTEM PEMERINTAHAN TADI YANG SANGAT BERPENGARUH PADA PRODUK HUKUM YANG DI HASILKAN .PADAHAL SEMUA NEGARA DI DUNIA DALAM KONSTITUSINYA MENETAPKAN DEMOKRASI SEBAGAI SATU ASAS BERNEGARA YANG SANGAT FUNDAMENTAL.
DEMOKRASI, SERING KALI ORANG BERPENDAPAT BAHWA SYSTEM DEMIOKRASI ADALAH SYSTEM YANG TERBAIK DARI SYSTEM-SISTEM LAINNYA.DEMOKRASI ADALAH PEMERINTAHAN DARI RAKYAT OLEH RAKYAT DAN UNTUK RAKYAT. DEFINISI TERSEBUT SANGAT IDEAL DARI RAKYAT OLEH RAKYAT DAN UNTUK RAKYAT,TETAPI SEBELUM KITA MASUKAN KEHATI BAHWA DEMOKRASI ITU SYSTEM PEMERINTAHAN YANG IDEAL KITA KAJI DAHULU ATAU KITA SAMAKAN DULU POLA PEMIKIRAN KITA TENTANG DEFINISI TADI ! TERLIHAT BAHWA SYSTEM DEMOKRASI YANG KITA TERAPKAN SELAMA INI HANYA SUATU SYARAT UNTUK MEREDAM AMARAH RAKYAT ATAU SUATU KEDOK DARI KEKUASAAN YANG OTORITER .PROF.SRI SOEMANTRI MENGUNGKAPKAN APABILA POLITIK ITU DI IBARATKAN LOKOMOTIF MAKA HOKUM ADAAH RELNYA MAKA KITA SERING MELIHAT BAHWA LOKOMOTIF ITU KELUAR DARI RELNYA SEHINGGA LOKOMOTIF ITU CELAKA. PERNYATAAN TERSEBUT MENGGAMBARKAN KETIKA KITA DALAM BERPOLITIK HARUS MENTAATI ATURAN DALAM HUKUM YANG SERING DI LUPAKAN OLEH PARA POLITIKUS KITA ,KENAPA SAYA MENYEBUTKA POLITUKUS KARENA PADA SAAT PARA AKTOIR POLITIK KITA SERING BERPRILAKU SEPERTI TIKUS YANG BERDASI WALAUPUN MEMBERI ANDIL DALAM PERKEMBANGAN PERATURAN YANG ADA .SAYA TIDAK MENUTUP DIRI BAHWA MASIH ADA PARA ACTOR POLITIK YANG BERPIHAK KEPADA RAKYAT DAN PENULIS SANGAT MENGHARGAI TOKOH POLITIK YANG SEPERTI INI . PENULIS MENYEBUTKAN POKLITIKUS DISINI KEPADA ACTOR POLITIK YANG SUDAH DI VONIS DAN TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HOKUM TETAP JADI KALAU MASIH DALAM PROSES YANG MUNGKIN TIDAK TERMASUK .

Rabu, 27 Oktober 2010

HUKUM INDONESIA

Kita tahu bahwa negara kita indonesia adalah negara yang berbentuk Hukum dimana sesuai yang tertera di UUD 1945 ayat 1. Akan tatapi kalo kita ngomong masalah supremasi(penegakan)hukum di Indonesia ini sangat-sangatlah sedih karena dari ere rezim soearkarno sampai era rezim Sby-Budiono penegakan masalah hukum menunjukan sangat tidak adil dan tidak menunjukan kebenaranya seperti kata lirik lagu "Yang benar di penjara dan yang salah tertawa" itulah sebuah gambaran/kata dimana kita bisa menyimpulkan,yang salah tidak dihukum sesuai aturan akan tetapi yang malah dihukum lain kata menunjukan bahwa hukum itu selalu di menangkan oleh orang2 yang BerModal saja,yang miskin tetap harus dibawah alias dihuum....!!!
ituah sedikit gambaran atau materi sedikit tentang Hukum Indonesia.mudah-mudahan dengan lulusan2 mahasiswa hukum indonesia kedepan bisa merubah semuanya.....

by:eko wahyudi